Senin, 05 November 2012

Good Governance di Bombana


Ja
Jalan Lurus Bombana
-->
Isu pemerintahan yang baik mulai memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia di dorong oleh adanya dinamika yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi warga. Ke depan pemerintah dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan fungsi pelayanan publik, lebih  tanggap serta mampu menyusun kebijakan, program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial.
Tuntutan reformasi birokrasi aparat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik lebih diarahkan untuk menciptakan kinerja aparat yang profesional dan akuntabel. Dengan makin meningkatnya kualitas kinerja dan profesionalisme aparat diharapkan akan mempercepat kembalinya tingkat kepercayaan masyarakat baik secara nasional maupun internasional. Dalam reformasi juga menuntut komitmen aparat agar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, lebih dan harus berpihak pada masyarakat. Keberpihakan aparatur kepada  masyarakat adalah merupakan hakekat dan inti reformasi di bidang administrasi publik.
Aparat pemerintahan masih banyak yang terbelenggu dengan birokrasi yang  otoriter yaitu bentuk birokrasi yang mengutamakan kepentingan pihak penguasa dalam pemerintahan sehingga membuat sebagian dari mereka menjadi lemahnya atau rendahnya kualitas, antara lain masih cukup banyaknya keluhan masyarakat terhadap kualitas pelayanan aparat, diantara berbagai kinerja aparat masih terjadi dan terdengar munculnya unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, belum tegaknya hukum dan keadilan dan sebagainya sebagai sumber isu kepemerintahan yang baik (Good Governance ).
Pelaksanaan tugas pada pemerintah merupakan implementasi tugas pokok dan fungsi yang dijabarkan dalam struktur organisasi kerja. Struktur organisasi pada setiap organisasi kerja berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai oleh organisasi kerja tersebut terutama dalam pelaksanaan pelayanan administrasi dan pelayanan publik. Sejauh ini pelayanan dalam organisasi pemerintahan dilaksanakan oleh aparatur pemerintah dengan kualitas kerja yang dimiliki masing-masing, namun dalam pelaksanaan pelayanan tersebut, sering terjadi kendala dan kesalahan yang mengakibatkan kinerja aparatur menjadi tidak efektif.
Pelayanan aparatur tidak selamanya berlangsung dengan baik karena adanya kejenuhan kerja dan ketidakpuasan kerja serta munculnya sikap dan perilaku sifatnya mengutamakan kepentingan sendiri sehingga pekerjaan tidak terlaksana dengan baik dan menjadi tertunda. Penundaan pekerjaan bukan hal yang baru bagi pegawai negeri sipil karena telah menjadi tradisi yang dibudidayakan untuk menghambat kelancaran pelayanan administrasi dan pelayanan publik. Hal ini terjadi juga pada sekretariat DPRD Kabupaten Bombana.
Fenomena pelayanan aparatur pemerintan yang masih kurang dan membutuhkan peningkatan yang menggambarkan kurangnya fungsi koordinasi dan pengawasan dari atasan dan kesadaran bawahan dalam melaksanakan tugas/pekerjaan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini berkaitan dengan  sikap, perilaku dan etos kerja aparat pemerintahan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya upaya peningkatkan kualitas dan kinerja aparatur melalui tindakan nyata seperti pelaksanaan pendidikan dan latihan serta proses penjenjangan yang transparan dan akuntabel untuk dapat memperoleh aparatur pemerintah yang baik yang pada gilirannya akan mewujudkan good governance pada masa mendatang.
Salah satu bentuk pembinaan aparat pemerintah yang dilaksanakan selama ini adalah Pendidikan dan Pelatihan yang dikenal dengan istilah DIKLAT yang dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan jenjang karier dari aparat pemerintah yang bersangkutan. Tujuan dari DIKLAT adalah meningkatkan kinerja, profesionalisme dan kemampuan sumber daya aparat pemerintah sebagai pelayan publik. Apalagi persentase aparatur pemerintah yang berpendidikan menengah ke bawah masih sangat dominan mewarnai kualitas sumber daya aparatut.
Kinerja aparat Sekretariat DPRD Bombana adalah salah satu unit Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Bombana yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD dengan bawahan yang terdiri dari 60 orang. Sehingga jumlah aparat pada organisasi kerja ini berjumlah 61 orang. Berdasarkan pengamatan awal fenomena terjadi pada Sekretariat DPRD Kabupaten Bombana bahwa masih terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja pegawai, hal ini disebabkan oleh karena kekuasaan berada pada ketua Dewan sementara sekretaris hanya melaksanakan tugas/pekerjaan berdasarkan keputusan atau perintah dari ketua dewan tersebut.
Kegiatan pelayanan administrasi pada sekretariat DPRD Kabupaten Bombana adalah menyediakan dan mengelola kegiatan anggota DPRD dan masing-masing anggota menghendaki adanya pelayanan prima atau pelayanan yang selalu didahulukan sehingga aparatur pada Sekretariat DPRD yang terdiri dari 60 orang ini harus berupaya untuk dapat memenuhi dan memberikan pelayanan yang baik (good service) kepada anggota DPRD Kabupaten Bombana,  selain itu perintah dan aturan kerja dikendalikan oleh ketua dewan. Hal ini menjadi penyebab rendahnya kinerja aparat dan kualitas kerja yang tidak dapat ditingkatkan, bahkan aparat tersebut hanya bekerja sesuai dengan petunjuk atasan yang mengakibatkan kinerja dan kualitas mereka tidak dapat ditingkatkan.
Kemampuan kerja aparatur pada instansi pemerintah seperti pada Sekretariat DPRD dihadapkan dengan lama kerja, loyalias, kepuasan kerja, kemandirian, kepuasan kerja dan motivasi serta disiplin kerja. Pekerjaan aparatur pada instansi ini lebih fokus pada pelayanan anggota dewan sebagai wakil rakyat yang membutuhkan  pelayanan terbaik. Kemampuan untuk bekerja dengan baik dihadapkan dengan tantang pekerjaan dan hasil yang diharapkan adalah bagaimana pekerjaan tersebut dapat terselesaikan tepat waktu tetapi pada kenyataannya hasil kerja terkadang menimbulkan stres kerja karena banyaknya tuntutan dan permintaan anggota dewan yang harus dilayani dengan tepat dan baik.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka peneliti ingin mengetahui lebih jauh, apakah kinerja aparatur pemerintah daerah pada Sekretariat DPRD Kabupaten Bombana yang nantinya dapat, memberikan kontribusi terhadap peningkatan pelayanan administrasi dan pelayanan publik, sehingga penulis mengangkat judul "Analisis Kinerja  Aparat Pemerintah Daerah”  (Studi Kasus pada Sekretariat DPRD Kabupaten Bombana )”.

Pelayanan Publik dan Pertanahan Di Sultra



Bariah WD SE
Penyelenggaraan pemerintahanan mencakup pelayanan publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat adalah pelayanan administrasi dan birokrasi yang didalamnya, aparatur pemerintah memegang kunci tanggung jawab terhadap keberhasilan pelayanan tersebut.
Peran aparatur dalam pelayanan publik disusun secara struktural dimana seorang pemimpin memiliki beberapa bawahan yang berinteraksi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Interkasi sosial yang terjadi adalah pemenuhan kebutuhan administrasi dengan birokrasi yang mudah. Pelayanan publik yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap kinerja pemerintah (Ancok, 2002).
Peran pemimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan publik tidak lepas dari  gaya mereka dalam melaksanakan kepemimpinannya seperti gaya eksekutif, pecinta pengembangan, otokrasi dan birokrat (William J. Redden, 2004).  Gaya eksekutif membuat seorang pemimpin selalu memberikan perhatian pada tugas-tugas yang dijalan, gaya pecinta pengembangan lebih mengutamakan hubungan kerja, gaya otokrasi memberikan perhatian pada pelaksanaan tugas dan gaya birokrat tugas dan hubungan kerja. Keempat gaya ini digunakan untuk membangun pelayanan publik bersama para bawahannya.
Seiring dengan kepemimpinan dalam organisasi, maka budaya organisasi diharapkan untuk menunjang pencapaian tujuan melalui inovasi, perhatian pada aturan dan perintah, prientasi hasil, orientasi manusia, orientrasi tim, agresif dan stabilitas (Robbins, 2006).  Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik dengan kepasitian memberikan pelayanan, mutu pelayanan dan proses pelayanan yang semuanya berada pada pundak aparatur pemerintah.
Jacob Breemer SE MM PhD
Kepemimpinan dan bidaya organisasi pada instansi pemerintah dikembangkan untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien. Namun demikian hal ini bukan pekerjaan mudah seperti diucapkan, karena implementasi pelayanan publik dihadapkan dengan aturan dan  perintah yang terkadang berubah yang dapat memberikan pengaruh terhadap kegiatan pelayanan.
Penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi yang ditujukan untuk pelayanan publik dilakukan juga di Badan Pertanahan Nasiona (BPN) salah satu organisasi kerja pemerintahan yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam penatakelolaan administasi pertanahan di Indonesia tidak terpisahkan dari kepemimpinan dan budaya organisasi. Kepemimpinan pada BPN Sulawesi Tenggara berada pada seorang kepada wilayah yang bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan publik. Namun demikian, dibawahnya masih terdapat pemimpin-pemimpin bagian unit kerja yang mengendalikan pelayanan secara langsung.
Pelayanan publik untuk menerbitkan sertifikat tanah tidak lepas dari masalah  waktu dan biaya. Selain itu gaya kepemimpinan otoriter membuat situasi kerja menjadi tidak kondusif dan para pegawai akan menjadi stres kerja dan tidak puas dalam bekerja. Pekerjaan pada kantor BPN Sulawesi Tenggara, sama seperti kantor BPN lainnya di Indonesia tetapi gaya kepemimpinan dan budaya organisanya tidak sama.
Kegiatan utama dari BPN adalah menerbitkan sertifikat tanah, tetapi dalam proses pengelolaannya bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan kerja sama antara pemilik tanah, kepala desa/lurah, ketua RW/RT yang memberikan rekomendasi terhadap keabsahan tanah yang akan disertifikatkan. Namun demikian di dalam lingkungan kerja BNP Sulawesi Tenggara, pengelolaan sertifikat dikendalikan langsung oleh pimpinan.
Pemimpin menjadi pusat pertanggung jawaban dalam pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi renggang atau ruang antara pimpinan dengan pegawai bawahan. Apalagi pegawai yang ditempatkan di kantor BPN wilayah  Sulawesi Tenggara sebagian besar adalah utusan-utusan dari kantor pusat yang memiliki kepentingan khusus. Dengan adanya  tujuan kepentingan ini, aktivitas pegawai menjadi tegang dan stres kerja. Pimpinan tidak memberikan perhatian kepada bawahan dan lebih cenderung kepada pencapaian hasil kerja.  
Penyelenggaraan pelayanan publik dihadapkan dengan gaya kepemimpinan yang masih dikendalikan dari kantor pusat dan adanya peran kelompok kepentingan yang membuat gaya kepemimpinan menjadi tidak produktif. Publik menghendaki pelayanan prima yang efektif dan efisien tetapi publik tidak pernah mengetahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam kantor BPN.
Sekalipun tugas pokok dan fungsi dilaksanakan tetapi gaya kepemimpinan yang memihak pada kelompok kepentingan, akan memperburuk pelayanan. Gaya eksekutif yang diharapkan dari seorang pemimpin, selama ini yang ada hanyalah perintah dan tidak ada timbal balik berupa penghargaan atau hal lainnya yang memotivasi pegawai. Para pemimpin tidak mencitai pengembang tetapi lebih cenderung kepada nilai tanah yang akan dijual atau mereka manfaatkan untuk tujuan lain. Para pemimpin dengan gaya yang tidak bersifat pengembang selalu menimbulkan konflik di dalam pelaksanaan tugas sehingga sebagian pegawai menjadi jenus dan stres kerja.
Para pemimpin pada Kantor BPN Sulawesi Tenggara juga masih menggunakan  sistem-sistem otoriter sementara bawah membutuhkan perhatian dan kerja sama. Sifat otoriter pemimpin membuat para bawahan tidak dapat berkomunikasi dengan baik hal ini nampak dari proses pelayanan publik baik pelayanan administrasi maupun pelayanan  pengukuran di lapangan, semua kegiatan dikendalikan langsung oleh pimpinan sedangkan bawahan hanyalah melaksanakan perintahnya. Keadaan ini membuat kegiatan pelayanan di Kantor BPN menjadi terkotak-kotak, artinya terdapat kelompok-kelompok kerja yang melaksanakan kegiatan dengan gaya kepemimpinan masing-masing dengan tujuan untuk menyelesaikan pekerjaan tetapi tidak bekerja sama dengan bagian lain.
Kepemimpinan birokrasi pada kantor BPN sebenarnya harus memberikan percepatan sertifikat tanah, namun kenyataannya birokrasi menjadi tidak jelas dan berkepanjangan. Berdasarkan gaya-gaya kepemimpinan yang terimplementasikan di kantor BPN dapat diperoleh kejelasan bahwa gaya kepemimpinan memiliki masalah serius dan membutuhan adanya perubahan. Namun demikian perubahan tersebut membutuhkan kerja sama, koordinasi dan komunikasi yang baik. Masalah koordinasi dan komunikasi yang tidak jelas, akan membukan peluang konflik internal. Untuk itu gaya kepemimpinan pada Kantor BPN Sulawesi Tenggara masih perlu dikembangkan.
Di sisi lain organisai kerja pada BPN diatur oleh struktur organisai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Namun budaya organisasi pada BNK Sulawesi Tenggara belum menunjukkan sikap inovatif, perhatian kepada bawahan, oritensi pada hasil kerja, oritensi kemanusiaan terutama masyarakat yang dilayanani, hilangnya orientasi tim dan yang ada hanyalah kelompok kepentingan. Masih banyak lagi permasalahan budaya organisasi yang membuat kantor BPN Sulawesi Tenggara menjadi tidak agresif dan tidak stabil. Salah satu sisinya adanya pelaksanaan pekerjaan yang diatur oleh pimpinan secara sepihak dan pendelegasian pekerjaan secara tertutup.
Budaya organisasi BPN dalam melayani masyarakat dihadapkan dengan etika profesi sebagai pusat pelayanan  sertifikasi pertanahan nasional, menjunjung tinggi aturan organisasi, menjaga iklim kerja dan mengutamakan orientasi pegawai serta oritensi tim kerja yang menunjang pelaksanaan tugas pada kantor BPN Sulawesi Tenggara. Masih banyak pegawai yang hanya bekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya saja tanpa memperhatikan etika profesi sebagai pegawai yang melayani. Ketidakefektivan pelayanan membuat banyaknya pengurusan sertifikat tanah menjadi lambat dan bertumpuk. Para pemimpin secara bersama memberikan komitmennya dalam tujuan pengesahan akta tanah selain itu pelaksana pembuat akta sering mengulur waktu pelayanan yang membuat wacana pelayanan publik menjadi lebih sulit bahkan berbelti-belit.
Fenomena gaya kepemimpinan yang tidak optimal dan budaya organisasi yang tidak terkendalikan membuat pegawai kantor BPN Sulawesi Tenggara dihadapkan pada ketidakpastian pemberian pekerjaan oleh pimpinan, menurunnya mutu pelayanan dan proses pelayanan yang menjadi lambat. Salah satu penyebab tidak efektifnya gaya kepemimpinan adalah terbatasnya ruang gerak pemimpian di daerah karena dikendalikan langsung dari kantor pusat dan budaya organisasi ditekan pada kepentingan pimpinan di kantor wilayah. Kedua paradigma ini berujung pada pelayanan publik yang semakin terpuruk dan ditandai dengan lamanya proses penerbitan sertifikan tanah.

Kecerdasan Diri

Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan yang pesat di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan membawa dampak perubahan pada segala sektor kehidupan. Perubahan tersebut membuat persaingan kualitas sumber daya manusia atau tenaga kerja menjadi semakin tinggi pada setiap organisasi kerja seperti instansi pemerintah. Masing-masing instansi dengan sumber daya manusianya dituntut untuk peka terhadap perubahan, memiliki daya saing, mampu bertahan dalam tekanan, kompeten di bidangnya, dan terus berinovasi.

Kondisi ini membuat Dinas Kesehatan sebagai integral dari instansi pemerintah berupaya untuk mendapatkan dan memelihara sumber daya manusianya agar tetap berkualitas. Kualitas sumber daya manusia terukur dari berbagai aspek seperti kemampuan intelektual, emosional dan kemampuan berorganiasi dari masing-masing individu adalah sebagian dari aspek yang dikembangkan untuk menunjukkan kualitas sumber daya manusia tersebut.

1

 
Keberhasilan individu secara umum dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan individu, sikap emosional dan kemampuan berorganisasi. Individu dengan tingkat kecerdasan yang tinggi memiliki kemampuan untuk menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi suatu permasalahan sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada dilingkungan kerjanya dengan sistematis dan terarah. Penggunaan kemampuan kecerdasan intelektual dan emosional merupakan bagian dari model kepribadian yang dikolaborasikan dengan budaya organisasi dalam membentuk iklim organisasi kerja organisasi kerja.

Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman Individu dengan intelejensi yang tinggi dan  seringkali dikaitkan dengan kesuksesan karena dianggap sebagai modal dasar yang dapat membuatnya mampu beradaptasi dengan segala permasalahan yang ada dalam pekerjaan. Namun dengan adanya globalisasi dan iklim bisnis yang berkembang dimana struktur organisasi mulai disederhanakan dan fleksibel / adaptabilitas ditingkatkan, individu juga dituntut untuk mengikuti tolok ukur baru dalam dunia kerja dimana sumber daya manusia tidak hanya didasarkan pada tingkat intelektual atau berdasarkan pengalaman, pelatihan, dan ketrampilan alih teknologi yang tinggi, serta kemampuan bertahan, mengolah, mengarahkan potensi diri dan seberapa baik kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang semakin kompetitif (Goleman, 2001).

Menurut Wechsler dalam Cherniss (2000), “Kecerdasan (Intelligence) adalah kemampuan seseorang untuk bertindak sempurna, berpikir rasional, dan efektif dalam menghadapi perubahan lingkungannya”. Gardner (2003) menjelaskan bahwa kecerdasan sesorang meliputi delapan unsur yakni : kecerdasan matematika-logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musical, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalis. Syarif (2002) membagi kecerdasan meliputi lima unsur yakni : kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan dalam bertahan hidup, dan kecerdasan motivasi.

Counterproduktive dipandang sebagai perilaku yang memberikan reaksi terhadap kondisi organisasi. Kondisi tersebut menunjuk pada ketidakmampuan organisasi dalam menyikapi sumber daya dan kelemahan-kelemahan yang pada dasarnya hanya merupakan keterlambatan dalam tindakan operasional. Sikap dan perilaku dalam counterproduktive mengisyaratkan adanya tindakan penyampingan fasilitas utama kepada fasilitas pribadi. Counterproduktive juga menggambarkan adanya penggunaan waktu kerja yang tidak efektif dalam menjalankan tugas kerja oleh karena adanya kepentingan pribadi. Kondisi organisasi yang terselimuti dengan model counterproduktive dapat menimbulkan konflik kerja.

Organisasi kerja Dinas Kabupaten Konawe Selatan meruapakan organisasi kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab kepada Bupati untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang diimplementasikan melalui peran Pusat Pelayanan Kesehatan di seluruh wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Pelayanan kesehatan dilakukan pada 22 Puskesmas dengan jumlah pegawai sebanyak 273 orang yang sebagian besar berpendidikan diploma kesehatan dan sekolah pendidikan kesehatan (Dinkes Kab. Konawe Selatan, 2011).

Keberadaan pegawai pada masing-masing lingkup kerja puskesmas di Kabupaten Konawe Selatan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat tetapi kemudian menimbulkan berbagai permasalahan yang hingga saat ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Permasalahan internal yang kompleks adalah permasalahan kualitas masing-masing pegawai di wilayah kerja puskesmasnya.

Sehubungan dengan pernyataan yang dikemukakan diatas, pada awal penempatan dan pendegasian tugas pekerjaan masing-masing pegawai memberikan pernyataan kemampuan melaksanakan tugas dengan baik, tetapi setelah berlangsung penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab tersebut berubah menjadi kekuatan dan kekuasaan yang dapat disebut sebagai otoriter perlayanan. Hal ini menggambarkan bahwa produktivitas pegawai berubah menjadi counterproduktive dan mencoba menjajah organisasi kerjannya sendiri dengan mengarahkan semua pasien dan keuarga pasien untuk mengikuti petunjuknya dibanding petunjuk pelayanan yang telah ditetapkan pada organisasi kerja puskesmas.

Pelayanan kesehatan di daerah-daerah sangat disadari penuh bahwa hal itu tidak mudah karena dalam pelaksanaan tugas pelayanan kesehatan membutuhkan kemampuan verbal, kemampuan numerik, daya nalar, dan kemampuan spesial yang diiringi dengan kesadaran, pengaturan diri, motivasi dan keterampilan sosial dalam menjalankan pekerjaan secara profesional dengan manajemen yang baik dan kepercayaan serta tingkat keteraturan yang terintegrasi untuk nantinya dapat mengurangi sikap dan perilaku counterproduktive.

Pegawai puskesmas yang  ada pada masing-masing wilayah kerja memiliki wewenang untuk melaksanakan pelaksanaan pelayanan kesehatan dan dipimpinan oleh seorang dokter atau pejabat kesehatan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan untuk memimpin kegiatan pelayanan. Namun demikian para pegawai tersebut tidak lepas dari permasalahan pelayanan dan kondisi kesehatan masyarakat di wilayah kerja masing-masing. Ada beberapa penyebab terjadinya counterproduk pada seorang pegawai yakni kesalahan pemimpin dalam menilai, kurangnya perhatian atasan, penyalahgunaan senioritas dalam bekerja, pembagian tugas yang tidak seimbang dan kompensasi yang tidak wajar serta beberapa penyebab lainnya.

Model dari counterproduktive adalah suatu bentuk ketidakpuasan kerja dan stress kerja yang berkepanjangan dan tidak dapat dikendalikan baik secara individu maupun organisasi dan menebarkan sistem otoriter di dalam pelaksanaan tugas sehingga kedudukan pimpinan tidak dihormati dan rekan sekerja menjadi bagian dari konflik kepentingan.

Gambaran dari counterproduktive yang dikemukakan tersebut memberikan suatu fenomena bahwa ketimpangan dalam pelaksanaan tugas dapat merugikan organisasi kerja dimana tugas pelayanan kesehatan menjadi tidak efektif. Untuk itu diperlukan adanya peningkatkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional serta budaya organisasi kerja pada masing-masing puskesmas yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Konawe Selatan.

Berdasarkan hal-hal yang di uraikan diatas maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam dengan mengambil judul Pengaruh Tingkat Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional Dan Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Counterproductive Behavior Pada Perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan”.
Blogged with the Flock Browser