Isu pemerintahan
yang baik mulai
memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia di dorong oleh adanya
dinamika yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi
warga. Ke depan pemerintah dan pemimpin politik di negara ini diharapkan
menjadi lebih demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif
menjalankan fungsi pelayanan publik, lebih
tanggap serta mampu menyusun kebijakan, program dan hukum yang dapat menjamin
hak asasi dan keadilan sosial.
Tuntutan reformasi birokrasi aparat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik lebih diarahkan untuk
menciptakan kinerja aparat yang profesional dan akuntabel. Dengan makin
meningkatnya kualitas kinerja dan profesionalisme aparat diharapkan akan
mempercepat kembalinya tingkat kepercayaan masyarakat baik secara nasional
maupun internasional. Dalam reformasi juga menuntut komitmen aparat agar dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, lebih dan harus berpihak pada masyarakat. Keberpihakan
aparatur kepada masyarakat adalah
merupakan hakekat dan inti reformasi di bidang administrasi publik.
Aparat pemerintahan masih banyak yang
terbelenggu dengan birokrasi yang
otoriter yaitu bentuk birokrasi yang mengutamakan kepentingan pihak
penguasa dalam pemerintahan sehingga membuat sebagian dari mereka menjadi lemahnya
atau rendahnya kualitas, antara lain masih cukup banyaknya keluhan masyarakat terhadap
kualitas pelayanan aparat, diantara berbagai kinerja aparat masih terjadi dan
terdengar munculnya unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan
wewenang dan tanggung jawab, belum tegaknya hukum dan keadilan dan sebagainya
sebagai sumber isu kepemerintahan yang baik (Good Governance ).
Pelaksanaan tugas pada pemerintah merupakan
implementasi tugas pokok dan fungsi yang dijabarkan dalam struktur organisasi
kerja. Struktur organisasi pada setiap organisasi kerja berbeda-beda, hal ini
disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai oleh organisasi kerja tersebut
terutama dalam pelaksanaan pelayanan administrasi dan pelayanan publik. Sejauh
ini pelayanan dalam organisasi pemerintahan dilaksanakan oleh aparatur
pemerintah dengan kualitas kerja yang dimiliki masing-masing, namun dalam pelaksanaan
pelayanan tersebut, sering terjadi kendala dan kesalahan yang mengakibatkan
kinerja aparatur menjadi tidak efektif.
Pelayanan aparatur tidak selamanya
berlangsung dengan baik karena adanya kejenuhan kerja dan ketidakpuasan kerja
serta munculnya sikap dan perilaku sifatnya mengutamakan kepentingan sendiri
sehingga pekerjaan tidak terlaksana dengan baik dan menjadi tertunda. Penundaan
pekerjaan bukan hal yang baru bagi pegawai negeri sipil karena telah menjadi
tradisi yang dibudidayakan untuk menghambat kelancaran pelayanan administrasi
dan pelayanan publik. Hal ini terjadi juga pada sekretariat DPRD Kabupaten
Bombana.
Fenomena pelayanan aparatur pemerintan yang
masih kurang dan membutuhkan peningkatan yang menggambarkan kurangnya fungsi
koordinasi dan pengawasan dari atasan dan kesadaran bawahan dalam melaksanakan
tugas/pekerjaan dengan penuh tanggung jawab. Hal ini berkaitan dengan sikap, perilaku dan etos kerja aparat
pemerintahan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya upaya peningkatkan kualitas dan
kinerja aparatur melalui tindakan nyata seperti pelaksanaan pendidikan dan
latihan serta proses penjenjangan yang transparan dan akuntabel untuk dapat
memperoleh aparatur pemerintah yang baik yang pada gilirannya akan mewujudkan good governance pada masa mendatang.
Salah satu bentuk pembinaan aparat pemerintah
yang dilaksanakan selama ini adalah Pendidikan dan Pelatihan yang dikenal dengan
istilah DIKLAT yang dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan jenjang karier
dari aparat pemerintah yang bersangkutan. Tujuan dari DIKLAT adalah meningkatkan
kinerja, profesionalisme dan kemampuan sumber daya aparat pemerintah sebagai pelayan
publik. Apalagi persentase aparatur pemerintah yang berpendidikan menengah ke
bawah masih sangat dominan mewarnai kualitas sumber daya aparatut.
Kinerja aparat Sekretariat DPRD Bombana adalah salah satu unit Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Bombana yang dalam pelaksanaan tugas
dan fungsinya dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD dengan bawahan yang terdiri
dari 60 orang. Sehingga jumlah aparat pada organisasi kerja ini berjumlah 61
orang. Berdasarkan pengamatan awal fenomena terjadi pada Sekretariat DPRD Kabupaten
Bombana bahwa masih terdapat pengaruh kepemimpinan terhadap kinerja pegawai,
hal ini disebabkan oleh karena kekuasaan berada pada ketua Dewan sementara
sekretaris hanya melaksanakan tugas/pekerjaan berdasarkan keputusan atau
perintah dari ketua dewan tersebut.
Kegiatan pelayanan administrasi pada
sekretariat DPRD Kabupaten Bombana adalah menyediakan dan mengelola kegiatan
anggota DPRD dan masing-masing anggota menghendaki adanya pelayanan prima atau
pelayanan yang selalu didahulukan sehingga aparatur pada Sekretariat DPRD yang
terdiri dari 60 orang ini harus berupaya untuk dapat memenuhi dan memberikan
pelayanan yang baik (good service)
kepada anggota DPRD Kabupaten Bombana, selain
itu perintah dan aturan kerja dikendalikan oleh ketua dewan. Hal ini menjadi
penyebab rendahnya kinerja aparat dan kualitas kerja yang tidak dapat
ditingkatkan, bahkan aparat tersebut hanya bekerja sesuai dengan petunjuk
atasan yang mengakibatkan kinerja dan kualitas mereka tidak dapat ditingkatkan.
Kemampuan kerja aparatur pada instansi
pemerintah seperti pada Sekretariat DPRD dihadapkan dengan lama kerja,
loyalias, kepuasan kerja, kemandirian, kepuasan kerja dan motivasi serta
disiplin kerja. Pekerjaan aparatur pada instansi ini lebih fokus pada pelayanan
anggota dewan sebagai wakil rakyat yang membutuhkan pelayanan terbaik. Kemampuan untuk bekerja
dengan baik dihadapkan dengan tantang pekerjaan dan hasil yang diharapkan
adalah bagaimana pekerjaan tersebut dapat terselesaikan tepat waktu tetapi pada
kenyataannya hasil kerja terkadang menimbulkan stres kerja karena banyaknya
tuntutan dan permintaan anggota dewan yang harus dilayani dengan tepat dan
baik.
Atas dasar pemikiran
tersebut, maka peneliti ingin mengetahui lebih jauh, apakah kinerja aparatur
pemerintah daerah pada Sekretariat DPRD Kabupaten
Bombana yang nantinya dapat, memberikan kontribusi terhadap peningkatan
pelayanan administrasi dan pelayanan publik, sehingga penulis mengangkat
judul "Analisis Kinerja Aparat
Pemerintah Daerah” (Studi Kasus pada Sekretariat
DPRD Kabupaten Bombana )”.
Penyelenggaraan pemerintahanan mencakup
pelayanan publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan kebutuhannya. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat adalah
pelayanan administrasi dan birokrasi yang didalamnya, aparatur pemerintah
memegang kunci tanggung jawab terhadap keberhasilan pelayanan tersebut.
Peran aparatur dalam pelayanan publik
disusun secara struktural dimana seorang pemimpin memiliki beberapa bawahan
yang berinteraksi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Interkasi
sosial yang terjadi adalah pemenuhan kebutuhan administrasi dengan birokrasi
yang mudah. Pelayanan publik yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan
masyarakat terhadap kinerja pemerintah (Ancok, 2002).
Peran pemimpin dalam melaksanakan
tugas-tugas pelayanan publik tidak lepas dari gaya mereka dalam melaksanakan kepemimpinannya
seperti gaya eksekutif, pecinta pengembangan, otokrasi dan birokrat (William J.
Redden, 2004).Gaya eksekutif membuat
seorang pemimpin selalu memberikan perhatian pada tugas-tugas yang dijalan,
gaya pecinta pengembangan lebih mengutamakan hubungan kerja, gaya otokrasi
memberikan perhatian pada pelaksanaan tugas dan gaya birokrat tugas dan
hubungan kerja. Keempat gaya ini digunakan untuk membangun pelayanan publik
bersama para bawahannya.
Seiring dengan kepemimpinan dalam
organisasi, maka budaya organisasi diharapkan untuk menunjang pencapaian tujuan
melalui inovasi, perhatian pada aturan dan perintah, prientasi hasil, orientasi
manusia, orientrasi tim, agresif dan stabilitas (Robbins, 2006).Hal ini ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan publik dengan kepasitian memberikan pelayanan, mutu pelayanan dan
proses pelayanan yang semuanya berada pada pundak aparatur pemerintah.
Jacob Breemer SE MM PhD
Kepemimpinan dan bidaya organisasi pada
instansi pemerintah dikembangkan untuk dapat memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara efektif dan efisien. Namun demikian hal ini bukan pekerjaan
mudah seperti diucapkan, karena implementasi pelayanan publik dihadapkan dengan
aturan danperintah yang terkadang
berubah yang dapat memberikan pengaruh terhadap kegiatan pelayanan.
Penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi yang
ditujukan untuk pelayanan publik dilakukan juga di Badan Pertanahan Nasiona
(BPN) salah satu organisasi kerja pemerintahan yang memiliki tugas pokok dan
fungsi dalam penatakelolaan administasi pertanahan di Indonesia tidak
terpisahkan dari kepemimpinan dan budaya organisasi. Kepemimpinan pada BPN
Sulawesi Tenggara berada pada seorang kepada wilayah yang bertanggung jawab
penuh terhadap pelayanan publik. Namun demikian, dibawahnya masih terdapat
pemimpin-pemimpin bagian unit kerja yang mengendalikan pelayanan secara
langsung.
Pelayanan publik untuk menerbitkan
sertifikat tanah tidak lepas dari masalahwaktu dan biaya. Selain itu gaya kepemimpinan otoriter membuat situasi
kerja menjadi tidak kondusif dan para pegawai akan menjadi stres kerja dan
tidak puas dalam bekerja. Pekerjaan pada kantor BPN Sulawesi Tenggara, sama
seperti kantor BPN lainnya di Indonesia tetapi gaya kepemimpinan dan budaya
organisanya tidak sama.
Kegiatan utama dari BPN adalah menerbitkan
sertifikat tanah, tetapi dalam proses pengelolaannya bukan pekerjaan mudah
karena membutuhkan kerja sama antara pemilik tanah, kepala desa/lurah, ketua
RW/RT yang memberikan rekomendasi terhadap keabsahan tanah yang akan
disertifikatkan. Namun demikian di dalam lingkungan kerja BNP Sulawesi
Tenggara, pengelolaan sertifikat dikendalikan langsung oleh pimpinan.
Pemimpin menjadi pusat pertanggung jawaban
dalam pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi renggang atau ruang antara
pimpinan dengan pegawai bawahan. Apalagi pegawai yang ditempatkan di kantor BPN
wilayah Sulawesi Tenggara sebagian besar
adalah utusan-utusan dari kantor pusat yang memiliki kepentingan khusus. Dengan
adanyatujuan kepentingan ini, aktivitas
pegawai menjadi tegang dan stres kerja. Pimpinan tidak memberikan perhatian
kepada bawahan dan lebih cenderung kepada pencapaian hasil kerja.
Penyelenggaraan pelayanan publik dihadapkan
dengan gaya kepemimpinan yang masih dikendalikan dari kantor pusat dan adanya
peran kelompok kepentingan yang membuat gaya kepemimpinan menjadi tidak
produktif. Publik menghendaki pelayanan prima yang efektif dan efisien tetapi
publik tidak pernah mengetahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam kantor BPN.
Sekalipun tugas pokok dan fungsi
dilaksanakan tetapi gaya kepemimpinan yang memihak pada kelompok kepentingan,
akan memperburuk pelayanan. Gaya eksekutif yang diharapkan dari seorang
pemimpin, selama ini yang ada hanyalah perintah dan tidak ada timbal balik
berupa penghargaan atau hal lainnya yang memotivasi pegawai. Para pemimpin
tidak mencitai pengembang tetapi lebih cenderung kepada nilai tanah yang akan
dijual atau mereka manfaatkan untuk tujuan lain. Para pemimpin dengan gaya yang
tidak bersifat pengembang selalu menimbulkan konflik di dalam pelaksanaan tugas
sehingga sebagian pegawai menjadi jenus dan stres kerja.
Para pemimpin pada Kantor BPN Sulawesi
Tenggara juga masih menggunakansistem-sistem otoriter sementara bawah membutuhkan perhatian dan kerja
sama. Sifat otoriter pemimpin membuat para bawahan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik hal ini nampak dari proses pelayanan publik baik pelayanan
administrasi maupun pelayananpengukuran
di lapangan, semua kegiatan dikendalikan langsung oleh pimpinan sedangkan
bawahan hanyalah melaksanakan perintahnya. Keadaan ini membuat kegiatan pelayanan
di Kantor BPN menjadi terkotak-kotak, artinya terdapat kelompok-kelompok kerja
yang melaksanakan kegiatan dengan gaya kepemimpinan masing-masing dengan tujuan
untuk menyelesaikan pekerjaan tetapi tidak bekerja sama dengan bagian lain.
Kepemimpinan birokrasi pada kantor BPN
sebenarnya harus memberikan percepatan sertifikat tanah, namun kenyataannya
birokrasi menjadi tidak jelas dan berkepanjangan. Berdasarkan gaya-gaya
kepemimpinan yang terimplementasikan di kantor BPN dapat diperoleh kejelasan
bahwa gaya kepemimpinan memiliki masalah serius dan membutuhan adanya
perubahan. Namun demikian perubahan tersebut membutuhkan kerja sama, koordinasi
dan komunikasi yang baik. Masalah koordinasi dan komunikasi yang tidak jelas,
akan membukan peluang konflik internal. Untuk itu gaya kepemimpinan pada Kantor
BPN Sulawesi Tenggara masih perlu dikembangkan.
Di sisi lain organisai kerja pada BPN
diatur oleh struktur organisai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah. Namun budaya organisasi pada BNK Sulawesi
Tenggara belum menunjukkan sikap inovatif, perhatian kepada bawahan, oritensi
pada hasil kerja, oritensi kemanusiaan terutama masyarakat yang dilayanani,
hilangnya orientasi tim dan yang ada hanyalah kelompok kepentingan. Masih
banyak lagi permasalahan budaya organisasi yang membuat kantor BPN Sulawesi
Tenggara menjadi tidak agresif dan tidak stabil. Salah satu sisinya adanya
pelaksanaan pekerjaan yang diatur oleh pimpinan secara sepihak dan
pendelegasian pekerjaan secara tertutup.
Budaya organisasi BPN dalam melayani masyarakat
dihadapkan dengan etika profesi sebagai pusat pelayanansertifikasi pertanahan nasional, menjunjung
tinggi aturan organisasi, menjaga iklim kerja dan mengutamakan orientasi
pegawai serta oritensi tim kerja yang menunjang pelaksanaan tugas pada kantor BPN Sulawesi Tenggara. Masih banyak pegawai yang hanya
bekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya saja tanpa memperhatikan etika profesi
sebagai pegawai yang melayani. Ketidakefektivan pelayanan membuat banyaknya
pengurusan sertifikat tanah menjadi lambat dan bertumpuk. Para pemimpin secara
bersama memberikan komitmennya dalam tujuan pengesahan akta tanah selain itu
pelaksana pembuat akta sering mengulur waktu pelayanan yang membuat wacana
pelayanan publik menjadi lebih sulit bahkan berbelti-belit.
Fenomena gaya kepemimpinan yang tidak optimal
dan budaya organisasi yang tidak terkendalikan membuat pegawai kantor BPN
Sulawesi Tenggara dihadapkan pada ketidakpastian pemberian pekerjaan oleh
pimpinan, menurunnya mutu pelayanan dan proses pelayanan yang menjadi lambat.
Salah satu penyebab tidak efektifnya gaya kepemimpinan adalah terbatasnya ruang
gerak pemimpian di daerah karena dikendalikan langsung dari kantor pusat dan
budaya organisasi ditekan pada kepentingan pimpinan di kantor wilayah. Kedua
paradigma ini berujung pada pelayanan publik yang semakin terpuruk dan ditandai
dengan lamanya proses penerbitan sertifikan tanah.
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan yang pesat di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan membawa dampak perubahan pada segala sektor kehidupan. Perubahan tersebut membuat persaingan kualitas sumber daya manusia atau tenaga kerja menjadi semakin tinggi pada setiap organisasi kerja seperti instansi pemerintah. Masing-masing instansi dengan sumber daya manusianya dituntut untuk peka terhadap perubahan, memiliki daya saing, mampu bertahan dalam tekanan, kompeten di bidangnya, dan terus berinovasi.
Kondisi ini membuat Dinas Kesehatan sebagai integral dari instansi pemerintah berupaya untuk mendapatkan dan memelihara sumber daya manusianya agar tetap berkualitas. Kualitas sumber daya manusia terukur dari berbagai aspek seperti kemampuan intelektual, emosional dan kemampuan berorganiasi dari masing-masing individu adalah sebagian dari aspek yang dikembangkan untuk menunjukkan kualitas sumber daya manusia tersebut.
1
Keberhasilan individu secara umum dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan individu, sikap emosional dan kemampuan berorganisasi. Individu dengan tingkat kecerdasan yang tinggi memiliki kemampuan untuk menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi suatu permasalahan sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang ada dilingkungan kerjanya dengan sistematis dan terarah. Penggunaan kemampuan kecerdasan intelektual dan emosional merupakan bagian dari model kepribadian yang dikolaborasikan dengan budaya organisasi dalam membentuk iklim organisasi kerja organisasi kerja.
Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman Individu dengan intelejensi yang tinggi dan seringkali dikaitkan dengan kesuksesan karena dianggap sebagai modal dasar yang dapat membuatnya mampu beradaptasi dengan segala permasalahan yang ada dalam pekerjaan. Namun dengan adanya globalisasi dan iklim bisnis yang berkembang dimana struktur organisasi mulai disederhanakan dan fleksibel/ adaptabilitas ditingkatkan, individu juga dituntut untuk mengikuti tolok ukur baru dalam dunia kerja dimana sumber daya manusia tidak hanya didasarkan pada tingkat intelektual atau berdasarkan pengalaman, pelatihan, dan ketrampilan alih teknologi yang tinggi, serta kemampuan bertahan, mengolah, mengarahkan potensi diri dan seberapa baik kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang semakin kompetitif (Goleman, 2001).
Menurut Wechsler dalam Cherniss (2000), “Kecerdasan (Intelligence) adalah kemampuan seseorang untuk bertindak sempurna, berpikir rasional, dan efektif dalam menghadapi perubahan lingkungannya”. Gardner (2003) menjelaskan bahwa kecerdasan sesorang meliputi delapan unsur yakni : kecerdasan matematika-logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musical, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalis. Syarif (2002) membagi kecerdasan meliputi lima unsur yakni : kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan dalam bertahan hidup, dan kecerdasan motivasi.
Counterproduktive dipandang sebagai perilaku yang memberikan reaksi terhadap kondisi organisasi. Kondisi tersebut menunjuk pada ketidakmampuan organisasi dalam menyikapi sumber daya dan kelemahan-kelemahan yang pada dasarnya hanya merupakan keterlambatan dalam tindakan operasional. Sikap dan perilaku dalam counterproduktive mengisyaratkan adanya tindakan penyampingan fasilitas utama kepada fasilitas pribadi. Counterproduktive juga menggambarkan adanya penggunaan waktu kerja yang tidak efektif dalam menjalankan tugas kerja oleh karena adanya kepentingan pribadi. Kondisi organisasi yang terselimuti dengan model counterproduktive dapat menimbulkan konflik kerja.
Organisasi kerja Dinas Kabupaten Konawe Selatan meruapakan organisasi kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab kepada Bupati untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang diimplementasikan melalui peran Pusat Pelayanan Kesehatan di seluruh wilayah Kabupaten Konawe Selatan. Pelayanan kesehatan dilakukan pada 22 Puskesmas dengan jumlah pegawai sebanyak 273 orang yang sebagian besar berpendidikan diploma kesehatan dan sekolah pendidikan kesehatan (Dinkes Kab. Konawe Selatan, 2011).
Keberadaan pegawai pada masing-masing lingkup kerja puskesmas di Kabupaten Konawe Selatan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat tetapi kemudian menimbulkan berbagai permasalahan yang hingga saat ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Permasalahan internal yang kompleks adalah permasalahan kualitas masing-masing pegawai di wilayah kerja puskesmasnya.
Sehubungan dengan pernyataan yang dikemukakan diatas, pada awal penempatan dan pendegasian tugas pekerjaan masing-masing pegawai memberikan pernyataan kemampuan melaksanakan tugas dengan baik, tetapi setelah berlangsung penyelenggaraan tugas dan tanggung jawab tersebut berubah menjadi kekuatan dan kekuasaan yang dapat disebut sebagai otoriter perlayanan. Hal ini menggambarkan bahwa produktivitas pegawai berubah menjadi counterproduktive dan mencoba menjajah organisasi kerjannya sendiri dengan mengarahkan semua pasien dan keuarga pasien untuk mengikuti petunjuknya dibanding petunjuk pelayanan yang telah ditetapkan pada organisasi kerja puskesmas.
Pelayanan kesehatan di daerah-daerah sangat disadari penuh bahwa hal itu tidak mudah karena dalam pelaksanaan tugas pelayanan kesehatan membutuhkan kemampuan verbal, kemampuan numerik, daya nalar, dan kemampuan spesial yang diiringi dengan kesadaran, pengaturan diri, motivasi dan keterampilan sosial dalam menjalankan pekerjaan secara profesional dengan manajemen yang baik dan kepercayaan serta tingkat keteraturan yang terintegrasi untuk nantinya dapat mengurangi sikap dan perilaku counterproduktive.
Pegawai puskesmas yangada pada masing-masing wilayah kerja memiliki wewenang untuk melaksanakan pelaksanaan pelayanan kesehatan dan dipimpinan oleh seorang dokter atau pejabat kesehatan yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan untuk memimpin kegiatan pelayanan. Namun demikian para pegawai tersebut tidak lepas dari permasalahan pelayanan dan kondisi kesehatan masyarakat di wilayah kerja masing-masing. Ada beberapa penyebab terjadinya counterproduk pada seorang pegawai yakni kesalahan pemimpin dalam menilai, kurangnya perhatian atasan, penyalahgunaan senioritas dalam bekerja, pembagian tugas yang tidak seimbang dan kompensasi yang tidak wajar serta beberapa penyebab lainnya.
Model dari counterproduktive adalah suatu bentuk ketidakpuasan kerja dan stress kerja yang berkepanjangan dan tidak dapat dikendalikan baik secara individu maupun organisasi dan menebarkan sistem otoriter di dalam pelaksanaan tugas sehingga kedudukan pimpinan tidak dihormati dan rekan sekerja menjadi bagian dari konflik kepentingan.
Gambaran dari counterproduktive yang dikemukakan tersebut memberikan suatu fenomena bahwa ketimpangan dalam pelaksanaan tugas dapat merugikan organisasi kerja dimana tugas pelayanan kesehatan menjadi tidak efektif. Untuk itu diperlukan adanya peningkatkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional serta budaya organisasi kerja pada masing-masing puskesmas yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Konawe Selatan.
Berdasarkan hal-hal yang di uraikan diatas maka, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam dengan mengambil judul “Pengaruh Tingkat Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional Dan Budaya Organisasi Terhadap Perilaku Counterproductive BehaviorPada Perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan”.