Senin, 05 November 2012

Pelayanan Publik dan Pertanahan Di Sultra



Bariah WD SE
Penyelenggaraan pemerintahanan mencakup pelayanan publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat adalah pelayanan administrasi dan birokrasi yang didalamnya, aparatur pemerintah memegang kunci tanggung jawab terhadap keberhasilan pelayanan tersebut.
Peran aparatur dalam pelayanan publik disusun secara struktural dimana seorang pemimpin memiliki beberapa bawahan yang berinteraksi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Interkasi sosial yang terjadi adalah pemenuhan kebutuhan administrasi dengan birokrasi yang mudah. Pelayanan publik yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap kinerja pemerintah (Ancok, 2002).
Peran pemimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan publik tidak lepas dari  gaya mereka dalam melaksanakan kepemimpinannya seperti gaya eksekutif, pecinta pengembangan, otokrasi dan birokrat (William J. Redden, 2004).  Gaya eksekutif membuat seorang pemimpin selalu memberikan perhatian pada tugas-tugas yang dijalan, gaya pecinta pengembangan lebih mengutamakan hubungan kerja, gaya otokrasi memberikan perhatian pada pelaksanaan tugas dan gaya birokrat tugas dan hubungan kerja. Keempat gaya ini digunakan untuk membangun pelayanan publik bersama para bawahannya.
Seiring dengan kepemimpinan dalam organisasi, maka budaya organisasi diharapkan untuk menunjang pencapaian tujuan melalui inovasi, perhatian pada aturan dan perintah, prientasi hasil, orientasi manusia, orientrasi tim, agresif dan stabilitas (Robbins, 2006).  Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik dengan kepasitian memberikan pelayanan, mutu pelayanan dan proses pelayanan yang semuanya berada pada pundak aparatur pemerintah.
Jacob Breemer SE MM PhD
Kepemimpinan dan bidaya organisasi pada instansi pemerintah dikembangkan untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efisien. Namun demikian hal ini bukan pekerjaan mudah seperti diucapkan, karena implementasi pelayanan publik dihadapkan dengan aturan dan  perintah yang terkadang berubah yang dapat memberikan pengaruh terhadap kegiatan pelayanan.
Penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi yang ditujukan untuk pelayanan publik dilakukan juga di Badan Pertanahan Nasiona (BPN) salah satu organisasi kerja pemerintahan yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam penatakelolaan administasi pertanahan di Indonesia tidak terpisahkan dari kepemimpinan dan budaya organisasi. Kepemimpinan pada BPN Sulawesi Tenggara berada pada seorang kepada wilayah yang bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan publik. Namun demikian, dibawahnya masih terdapat pemimpin-pemimpin bagian unit kerja yang mengendalikan pelayanan secara langsung.
Pelayanan publik untuk menerbitkan sertifikat tanah tidak lepas dari masalah  waktu dan biaya. Selain itu gaya kepemimpinan otoriter membuat situasi kerja menjadi tidak kondusif dan para pegawai akan menjadi stres kerja dan tidak puas dalam bekerja. Pekerjaan pada kantor BPN Sulawesi Tenggara, sama seperti kantor BPN lainnya di Indonesia tetapi gaya kepemimpinan dan budaya organisanya tidak sama.
Kegiatan utama dari BPN adalah menerbitkan sertifikat tanah, tetapi dalam proses pengelolaannya bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan kerja sama antara pemilik tanah, kepala desa/lurah, ketua RW/RT yang memberikan rekomendasi terhadap keabsahan tanah yang akan disertifikatkan. Namun demikian di dalam lingkungan kerja BNP Sulawesi Tenggara, pengelolaan sertifikat dikendalikan langsung oleh pimpinan.
Pemimpin menjadi pusat pertanggung jawaban dalam pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi renggang atau ruang antara pimpinan dengan pegawai bawahan. Apalagi pegawai yang ditempatkan di kantor BPN wilayah  Sulawesi Tenggara sebagian besar adalah utusan-utusan dari kantor pusat yang memiliki kepentingan khusus. Dengan adanya  tujuan kepentingan ini, aktivitas pegawai menjadi tegang dan stres kerja. Pimpinan tidak memberikan perhatian kepada bawahan dan lebih cenderung kepada pencapaian hasil kerja.  
Penyelenggaraan pelayanan publik dihadapkan dengan gaya kepemimpinan yang masih dikendalikan dari kantor pusat dan adanya peran kelompok kepentingan yang membuat gaya kepemimpinan menjadi tidak produktif. Publik menghendaki pelayanan prima yang efektif dan efisien tetapi publik tidak pernah mengetahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam kantor BPN.
Sekalipun tugas pokok dan fungsi dilaksanakan tetapi gaya kepemimpinan yang memihak pada kelompok kepentingan, akan memperburuk pelayanan. Gaya eksekutif yang diharapkan dari seorang pemimpin, selama ini yang ada hanyalah perintah dan tidak ada timbal balik berupa penghargaan atau hal lainnya yang memotivasi pegawai. Para pemimpin tidak mencitai pengembang tetapi lebih cenderung kepada nilai tanah yang akan dijual atau mereka manfaatkan untuk tujuan lain. Para pemimpin dengan gaya yang tidak bersifat pengembang selalu menimbulkan konflik di dalam pelaksanaan tugas sehingga sebagian pegawai menjadi jenus dan stres kerja.
Para pemimpin pada Kantor BPN Sulawesi Tenggara juga masih menggunakan  sistem-sistem otoriter sementara bawah membutuhkan perhatian dan kerja sama. Sifat otoriter pemimpin membuat para bawahan tidak dapat berkomunikasi dengan baik hal ini nampak dari proses pelayanan publik baik pelayanan administrasi maupun pelayanan  pengukuran di lapangan, semua kegiatan dikendalikan langsung oleh pimpinan sedangkan bawahan hanyalah melaksanakan perintahnya. Keadaan ini membuat kegiatan pelayanan di Kantor BPN menjadi terkotak-kotak, artinya terdapat kelompok-kelompok kerja yang melaksanakan kegiatan dengan gaya kepemimpinan masing-masing dengan tujuan untuk menyelesaikan pekerjaan tetapi tidak bekerja sama dengan bagian lain.
Kepemimpinan birokrasi pada kantor BPN sebenarnya harus memberikan percepatan sertifikat tanah, namun kenyataannya birokrasi menjadi tidak jelas dan berkepanjangan. Berdasarkan gaya-gaya kepemimpinan yang terimplementasikan di kantor BPN dapat diperoleh kejelasan bahwa gaya kepemimpinan memiliki masalah serius dan membutuhan adanya perubahan. Namun demikian perubahan tersebut membutuhkan kerja sama, koordinasi dan komunikasi yang baik. Masalah koordinasi dan komunikasi yang tidak jelas, akan membukan peluang konflik internal. Untuk itu gaya kepemimpinan pada Kantor BPN Sulawesi Tenggara masih perlu dikembangkan.
Di sisi lain organisai kerja pada BPN diatur oleh struktur organisai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Namun budaya organisasi pada BNK Sulawesi Tenggara belum menunjukkan sikap inovatif, perhatian kepada bawahan, oritensi pada hasil kerja, oritensi kemanusiaan terutama masyarakat yang dilayanani, hilangnya orientasi tim dan yang ada hanyalah kelompok kepentingan. Masih banyak lagi permasalahan budaya organisasi yang membuat kantor BPN Sulawesi Tenggara menjadi tidak agresif dan tidak stabil. Salah satu sisinya adanya pelaksanaan pekerjaan yang diatur oleh pimpinan secara sepihak dan pendelegasian pekerjaan secara tertutup.
Budaya organisasi BPN dalam melayani masyarakat dihadapkan dengan etika profesi sebagai pusat pelayanan  sertifikasi pertanahan nasional, menjunjung tinggi aturan organisasi, menjaga iklim kerja dan mengutamakan orientasi pegawai serta oritensi tim kerja yang menunjang pelaksanaan tugas pada kantor BPN Sulawesi Tenggara. Masih banyak pegawai yang hanya bekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya saja tanpa memperhatikan etika profesi sebagai pegawai yang melayani. Ketidakefektivan pelayanan membuat banyaknya pengurusan sertifikat tanah menjadi lambat dan bertumpuk. Para pemimpin secara bersama memberikan komitmennya dalam tujuan pengesahan akta tanah selain itu pelaksana pembuat akta sering mengulur waktu pelayanan yang membuat wacana pelayanan publik menjadi lebih sulit bahkan berbelti-belit.
Fenomena gaya kepemimpinan yang tidak optimal dan budaya organisasi yang tidak terkendalikan membuat pegawai kantor BPN Sulawesi Tenggara dihadapkan pada ketidakpastian pemberian pekerjaan oleh pimpinan, menurunnya mutu pelayanan dan proses pelayanan yang menjadi lambat. Salah satu penyebab tidak efektifnya gaya kepemimpinan adalah terbatasnya ruang gerak pemimpian di daerah karena dikendalikan langsung dari kantor pusat dan budaya organisasi ditekan pada kepentingan pimpinan di kantor wilayah. Kedua paradigma ini berujung pada pelayanan publik yang semakin terpuruk dan ditandai dengan lamanya proses penerbitan sertifikan tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar