Bariah WD SE |
Penyelenggaraan pemerintahanan mencakup
pelayanan publik yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan kebutuhannya. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat adalah
pelayanan administrasi dan birokrasi yang didalamnya, aparatur pemerintah
memegang kunci tanggung jawab terhadap keberhasilan pelayanan tersebut.
Peran aparatur dalam pelayanan publik
disusun secara struktural dimana seorang pemimpin memiliki beberapa bawahan
yang berinteraksi dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan. Interkasi
sosial yang terjadi adalah pemenuhan kebutuhan administrasi dengan birokrasi
yang mudah. Pelayanan publik yang diharapkan adalah terpenuhinya kebutuhan
masyarakat terhadap kinerja pemerintah (Ancok, 2002).
Peran pemimpin dalam melaksanakan
tugas-tugas pelayanan publik tidak lepas dari gaya mereka dalam melaksanakan kepemimpinannya
seperti gaya eksekutif, pecinta pengembangan, otokrasi dan birokrat (William J.
Redden, 2004). Gaya eksekutif membuat
seorang pemimpin selalu memberikan perhatian pada tugas-tugas yang dijalan,
gaya pecinta pengembangan lebih mengutamakan hubungan kerja, gaya otokrasi
memberikan perhatian pada pelaksanaan tugas dan gaya birokrat tugas dan
hubungan kerja. Keempat gaya ini digunakan untuk membangun pelayanan publik
bersama para bawahannya.
Seiring dengan kepemimpinan dalam
organisasi, maka budaya organisasi diharapkan untuk menunjang pencapaian tujuan
melalui inovasi, perhatian pada aturan dan perintah, prientasi hasil, orientasi
manusia, orientrasi tim, agresif dan stabilitas (Robbins, 2006). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan
pelayanan publik dengan kepasitian memberikan pelayanan, mutu pelayanan dan
proses pelayanan yang semuanya berada pada pundak aparatur pemerintah.
Jacob Breemer SE MM PhD |
Kepemimpinan dan bidaya organisasi pada
instansi pemerintah dikembangkan untuk dapat memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara efektif dan efisien. Namun demikian hal ini bukan pekerjaan
mudah seperti diucapkan, karena implementasi pelayanan publik dihadapkan dengan
aturan dan perintah yang terkadang
berubah yang dapat memberikan pengaruh terhadap kegiatan pelayanan.
Penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi yang
ditujukan untuk pelayanan publik dilakukan juga di Badan Pertanahan Nasiona
(BPN) salah satu organisasi kerja pemerintahan yang memiliki tugas pokok dan
fungsi dalam penatakelolaan administasi pertanahan di Indonesia tidak
terpisahkan dari kepemimpinan dan budaya organisasi. Kepemimpinan pada BPN
Sulawesi Tenggara berada pada seorang kepada wilayah yang bertanggung jawab
penuh terhadap pelayanan publik. Namun demikian, dibawahnya masih terdapat
pemimpin-pemimpin bagian unit kerja yang mengendalikan pelayanan secara
langsung.
Pelayanan publik untuk menerbitkan
sertifikat tanah tidak lepas dari masalah
waktu dan biaya. Selain itu gaya kepemimpinan otoriter membuat situasi
kerja menjadi tidak kondusif dan para pegawai akan menjadi stres kerja dan
tidak puas dalam bekerja. Pekerjaan pada kantor BPN Sulawesi Tenggara, sama
seperti kantor BPN lainnya di Indonesia tetapi gaya kepemimpinan dan budaya
organisanya tidak sama.
Kegiatan utama dari BPN adalah menerbitkan
sertifikat tanah, tetapi dalam proses pengelolaannya bukan pekerjaan mudah
karena membutuhkan kerja sama antara pemilik tanah, kepala desa/lurah, ketua
RW/RT yang memberikan rekomendasi terhadap keabsahan tanah yang akan
disertifikatkan. Namun demikian di dalam lingkungan kerja BNP Sulawesi
Tenggara, pengelolaan sertifikat dikendalikan langsung oleh pimpinan.
Pemimpin menjadi pusat pertanggung jawaban
dalam pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi renggang atau ruang antara
pimpinan dengan pegawai bawahan. Apalagi pegawai yang ditempatkan di kantor BPN
wilayah Sulawesi Tenggara sebagian besar
adalah utusan-utusan dari kantor pusat yang memiliki kepentingan khusus. Dengan
adanya tujuan kepentingan ini, aktivitas
pegawai menjadi tegang dan stres kerja. Pimpinan tidak memberikan perhatian
kepada bawahan dan lebih cenderung kepada pencapaian hasil kerja.
Penyelenggaraan pelayanan publik dihadapkan
dengan gaya kepemimpinan yang masih dikendalikan dari kantor pusat dan adanya
peran kelompok kepentingan yang membuat gaya kepemimpinan menjadi tidak
produktif. Publik menghendaki pelayanan prima yang efektif dan efisien tetapi
publik tidak pernah mengetahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam kantor BPN.
Sekalipun tugas pokok dan fungsi
dilaksanakan tetapi gaya kepemimpinan yang memihak pada kelompok kepentingan,
akan memperburuk pelayanan. Gaya eksekutif yang diharapkan dari seorang
pemimpin, selama ini yang ada hanyalah perintah dan tidak ada timbal balik
berupa penghargaan atau hal lainnya yang memotivasi pegawai. Para pemimpin
tidak mencitai pengembang tetapi lebih cenderung kepada nilai tanah yang akan
dijual atau mereka manfaatkan untuk tujuan lain. Para pemimpin dengan gaya yang
tidak bersifat pengembang selalu menimbulkan konflik di dalam pelaksanaan tugas
sehingga sebagian pegawai menjadi jenus dan stres kerja.
Para pemimpin pada Kantor BPN Sulawesi
Tenggara juga masih menggunakan
sistem-sistem otoriter sementara bawah membutuhkan perhatian dan kerja
sama. Sifat otoriter pemimpin membuat para bawahan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik hal ini nampak dari proses pelayanan publik baik pelayanan
administrasi maupun pelayanan pengukuran
di lapangan, semua kegiatan dikendalikan langsung oleh pimpinan sedangkan
bawahan hanyalah melaksanakan perintahnya. Keadaan ini membuat kegiatan pelayanan
di Kantor BPN menjadi terkotak-kotak, artinya terdapat kelompok-kelompok kerja
yang melaksanakan kegiatan dengan gaya kepemimpinan masing-masing dengan tujuan
untuk menyelesaikan pekerjaan tetapi tidak bekerja sama dengan bagian lain.
Kepemimpinan birokrasi pada kantor BPN
sebenarnya harus memberikan percepatan sertifikat tanah, namun kenyataannya
birokrasi menjadi tidak jelas dan berkepanjangan. Berdasarkan gaya-gaya
kepemimpinan yang terimplementasikan di kantor BPN dapat diperoleh kejelasan
bahwa gaya kepemimpinan memiliki masalah serius dan membutuhan adanya
perubahan. Namun demikian perubahan tersebut membutuhkan kerja sama, koordinasi
dan komunikasi yang baik. Masalah koordinasi dan komunikasi yang tidak jelas,
akan membukan peluang konflik internal. Untuk itu gaya kepemimpinan pada Kantor
BPN Sulawesi Tenggara masih perlu dikembangkan.
Di sisi lain organisai kerja pada BPN
diatur oleh struktur organisai dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah. Namun budaya organisasi pada BNK Sulawesi
Tenggara belum menunjukkan sikap inovatif, perhatian kepada bawahan, oritensi
pada hasil kerja, oritensi kemanusiaan terutama masyarakat yang dilayanani,
hilangnya orientasi tim dan yang ada hanyalah kelompok kepentingan. Masih
banyak lagi permasalahan budaya organisasi yang membuat kantor BPN Sulawesi
Tenggara menjadi tidak agresif dan tidak stabil. Salah satu sisinya adanya
pelaksanaan pekerjaan yang diatur oleh pimpinan secara sepihak dan
pendelegasian pekerjaan secara tertutup.
Budaya organisasi BPN dalam melayani masyarakat
dihadapkan dengan etika profesi sebagai pusat pelayanan sertifikasi pertanahan nasional, menjunjung
tinggi aturan organisasi, menjaga iklim kerja dan mengutamakan orientasi
pegawai serta oritensi tim kerja yang menunjang pelaksanaan tugas pada kantor BPN Sulawesi Tenggara. Masih banyak pegawai yang hanya
bekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya saja tanpa memperhatikan etika profesi
sebagai pegawai yang melayani. Ketidakefektivan pelayanan membuat banyaknya
pengurusan sertifikat tanah menjadi lambat dan bertumpuk. Para pemimpin secara
bersama memberikan komitmennya dalam tujuan pengesahan akta tanah selain itu
pelaksana pembuat akta sering mengulur waktu pelayanan yang membuat wacana
pelayanan publik menjadi lebih sulit bahkan berbelti-belit.
Fenomena gaya kepemimpinan yang tidak optimal
dan budaya organisasi yang tidak terkendalikan membuat pegawai kantor BPN
Sulawesi Tenggara dihadapkan pada ketidakpastian pemberian pekerjaan oleh
pimpinan, menurunnya mutu pelayanan dan proses pelayanan yang menjadi lambat.
Salah satu penyebab tidak efektifnya gaya kepemimpinan adalah terbatasnya ruang
gerak pemimpian di daerah karena dikendalikan langsung dari kantor pusat dan
budaya organisasi ditekan pada kepentingan pimpinan di kantor wilayah. Kedua
paradigma ini berujung pada pelayanan publik yang semakin terpuruk dan ditandai
dengan lamanya proses penerbitan sertifikan tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar